Selasa, 28 Februari 2012

Filosofi Paku

Suatu ketika ada seorang anak laki-laki yang sangat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada sang anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah.

Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar setiap kali dia marah, lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku ke pagar.
Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabaran. Dia memberitahu hal itu kepada ayahnya yang kemudian mengusulkan dia untuk mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah. Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahukan ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya, lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar.

“hmm.. kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama dengan sebelumnya. Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu meninggalkan lubang seperti ini di hati orang lain”.
“kamu dapat menusukkan pisau kepada seseorang, lalu mencabut pisau itu, tetapi tidak peduli berapa kali kamu minta maaf, luka itu akan tetap ada. Dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik.

Setelah membaca ini, saya merenung sejenak dan akhirnya menyadari bahwa seringkali kita melakukan kesalahan yang menyakiti orang lain dengan kata-kata yang kita keluarkan tanpa peduli akan perasaannya. Kita mungkin boleh mengatasinya atau secara berangsur-angsur menghapusnya, tapi ingatlah selalu setiap kali kita menyakiti seseorang, maka kita telah membenamkan sebilah paku yang akan meninggalkan bekas meskipun paku tersebut kita cabut kemudiannya.

Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita termasuk saya…